Selasa, 28 Mei 2019

KONTRIBUSI PEMIKIRAN HUKUM NAHDLATUL ULAMA


Lembaga Bahtsul Masail ialah sebuah Lembaga yang berfungsi sebagai forum diskusi antara para ulama serta kaum intelektual guna membahas permasalahan-permasalahan yang muncul dari berbagai aspek kehidupan masyarakat, seperti masalah keagamaan, ekonomi, social, hukum, politik dan aspek lainnya, yang tentunya dengan jelas memberikan keterangan berupa status hukum dari berbagai permasalahan tersebut, dengan turut mempertimbangkan tentang keadaan saat ini agar keputusan yang dikeluarkan dapat sesuai dengan kehidupan masyarakat dan tentunya berakibat pada kehidupan masyarakat yang sejahtera.
Tentunya keputusan yang dikeluarkan nantinya tidak sekedar hanya memberikan jawaban saja namun juga dapat memberikan pengaruh terhadap umat Islam serta hukum Islam di Indonesia. Permasalahan umat saat ini umumnya berkaitan dengan permasalahan Ijtihad. Quran dan Sunnah tidak akan bertambah sedangkan permasalahan manusia selalu bertambah sehingga dibutuhkan peran ijtihad para ulama, jadi peran LBM sendiri sangat besar terhadap kesejahteraan umat Islam di Indonesia.
Pengaruh terhadap hukum Islam di Indonesia bahwa keputusan Bahtsul Masail memiliki pengaruh yang juga signifikan karena Bahtsul Masail itu sendiri ialah model Ijtihad, baik Ijma’ maupun Qiyas. Ijtihad pun dapat menjadi metode standar dalam pengambilan hukum. Contohnya persamaan Beras dan Gandum dalam Zakat melalui sudut pandang Qiyas.
Besar tidaknya pengaruh Bahtsul Masail terhadap umat Islam di Indonesia tergantung pada lingkupnya, apabila dalam lingkup formal tidak terlalu besar karena keputusan Bahtsul Masail tidak memiliki legitimasi hukum dan tidak bersifat mengikat, melainkan rekomendasi yang artinya bisa diikuti namun bisa juga tidak diikuti, berbeda dengan fatwa MUI yang memang terkadang mendapatkan legitimasi hukum dan membuatnya bersifat mengikat, hal tersebut merupakan hal wajar karena MUI sendiri ialah lembaga bentukan pemerintah yang apabila terdapat permasalahan, pemerintah meminta sikap dari MUI melalui fatwanya. Namun dapat memberikan dampak yang signifikan apabila dalam wilayah kultural, keputusan Bahtsul Masail yang memiliki sifat rekomendasi, apabila diikuti oleh sebagian besar Nahdliyyin (warga NU) yang mempunyai ikatan emosional yang kuat dan terkenal militant dengan para ulamanya.
Dampak terhadap Hukum Islam di Indonesia sendiri tergantung dari sudut pandang formal dan kultural. Jadi dapat dikatakan besar namun juga tidak, karena dalam wilayah formal tak terlalu berpengaruh karena keputusan Bahtsul Masail sendiri bersifat tak mengikat dan pada umumnya dalam wilayah formal yang lebih berkaitan pada undang-undang bukan wilayah Bahtsul Masail, sedangkan dalam wilayah kultural, terutama apabila dari segi emosional yang terjalin sangat kuat yang disebabkan prinsip Nahdliyyin yang militant yaitu mengikuti para ulama, jadi apabila fatwa telah dikeluarkan para ulama NU, hal tersebut dapat dipegang sampai mati oleh Nahdliyyin yang memiliki ikatan emosional yang kuat tersebut. Selain itu keputusan Bahtsul Masail juga berpengaruh terhadap permasalahan yang menjadi isu-isu nasional yang sedang hangat karena sifat dari Bahtsul Masail itu sendiri yang responsif. Selain itu juga dapat menambah khazanah keilmuan tentang hukum Islam bersamaan dengan fatwa MUI serta Majlis Tarjih Muhammadiyyah membuat yang tentunya menjadi kekayaan bagi generasi selanjutnya guna menciptakan konsep yang lebih baik lagi kedepannya.
Melihat dari pandangan diatas bahwa pengaruh keputusan Bahtsul Masail terhadap umat Islam tentunya signifikan dalam wilayah kultural, selain karena ikatan emosional yang kuat juga karena permasalahan yang umumnya muncul di masyarakat ialah permasalahan yang menuntut adanya Ijtihad guna memberikan jawaban terhadap permasalahan tersebut. Sedangkan pada Hukum Islam sendiri tidak terlalu signifikan dalam hal undang-undang atau formal dengan alasan tak bersifat mengikat, namun tentu saja bisa sangat besar apabila para Nahdliyyin mempunyai ikatan yang kuat dengan para ulamanya, hal tersebut dapat menyebabkan keputusan tersebut menjadi pedoman bagi mereka.
Agar keputusan hukum yang nantinya muncul sesuai dengan kultur masyarakat Indonesia yang beragam, yang menjadi 5 poin penting dalam tujuan hukum yang harus dijaga ketika dilakukannya penetapan hukum ialah:
a.       Menjaga Agama; (hifzh al-din)
b.      Menjaga Jiwa; (hifzh al-nafs)
c.       Menjaga Akal (hifzh al-aql)
d.      Menjaga Kehormatan dan keturunan; (hifzh al-nasl)
e.       Menjaga Harta; (hifzh al-maal)
Menjaga agama dimaksudkan untuk melindungi agama atau kepercayaan yang dianut oleh seseorang dan menjamin kemrdekaan setiap orang untuk beribadah menurut keyakinannya. Menjaga jiwa sendiri bertujuan untuk memelihara hak manusia untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya serta melindungi berbagai sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk mempertahankan kemaslahatan hidupnya. Menjaga akal bermaksud agar dapat menjaga akal pada manusia karena akal merupakan komponen penting yang dapat menunjang kehidupan manusia, apakah kehidupan tersebut diarahkan pada segala hal yang baik atau malah sebaliknya menuju segala kerugian. Menjaga keturunan dan kehormatan ialah agar kemurnian darah dapat dijaga dan kelanjutan umat manusia dapat diteruskan serta agar derajat manusia tidak dibeda-bedakan. Dan Menjaga harta bertujuan agar selain menjaga kesucian harta tersebut baik dalam memperoleh atau menggunakannnya, juga dapat mempertahankan dan melanjutkan kehidupan manusia.


METODE ISTINBATH NAHDLATUL ULAMA


Di kalangan NU, pengertian istinbath adalah menggali secara langsung dari al-qur’an dan hadits, dengan cenderung ke arah perilaku Ijtihad yang oleh para ulama NU dirasa sulit karena keterbatasan-keterbatasan yang didasari oleh mereka. Oleh karenanya para ulama NU menggunakan Istinbath ke arah yang tidak mengambil langsung dari sumber aslinya, karena mereka menganggap lebih praktis dan dapat dilakukan oleh semua ulama NU yang telah memahami ibarat-ibarat kitab fiqih sesuai dengan terminologi yang baku.
Metode Istinbath yang digunakan Lanjah Bahtsul Masa’il NU tidak mengambil langsung dari sumber aslinya yakni al-Qur’an dan Hadits melainkan sesuai dengan sikap dasar bermadzhab NU, dalam memutuskan dan menetapkan suatu masalah keagamaan dengan Mentathbiqkan (memberlakukan) secara dinamis dari nash-nash fuqaha dalam konteks permasalahan yang dicari hukumnya.
Dalam mencari dan memberikan solusi jawaban terhadap kepastian hukumnya, prosedur yang digunakan Lajnah Bahtsul Masa’il dapat disusun sesuai dengan urutan-urutannya diantaranya sebagai berikut:
a.       Untuk menjawab masalah yang jawabannya cukup dengan menggunakan ‘ibarah kitab, dan dalam kitab tersebut hanya ada satu qaul/wajah, maka qaul/wajah yang ada dalam íbarah kitab itulah yang digunakan sebagai jawaban.
b.      Bila dalam menjawab masalah masih mampu menggunakan ‘ibarah kitab, tapi ternyata lebih dari satu qaul/wajah, maka dilakukan taqrir jama’iy, yang berfungsi untuk memilih satu qaul/wajah.
c.       Bila dalam menjawab masalah tidak menemukan jawabannya dengan menggunakan ’ibarah kitab, dalam suatu kitab maka yang perlu dilakukan adalah al-ilhaqiy al-masa’il bi nadzair (menyamakan hukum suatu kasus yang belum ada ketetapan hukumnya) dengan menserupakan serta menyamakan suatu kasus yang sudah ada ketetapan hukumnya yang sudah jadi. Dengan kata lain bisa dikatakan hampir mirip dengan qiyas.
d.      Bila dalam menjawab masalah tidak ditemukan satu qaul/wajh sama sekali, dengan menggunakan ’ibarah kitab sedangkan  sudah menggunakan ilhaqiy hasilnya pun masih belum bisa untuk disamakan ketetapan hukumnya, maka yang dilakukan adalah istinbath jama’iy (dengan membahas dan mengambil keputusan bersama secara kolektif), sesuai dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun imam madzhab. Dengan kata lain dapat dikatakan ’ijma.
Terdapat tiga metode dalam pengambilan hukum di Nahdlatul Ulama, yakni sebagai berikut:
1.     Metode Qauliy
Metode ini adalah suatu cara istinbath hukum yang digunakan oleh ulama NU, dengan mempelajari masalah-masalah yang dihadapi, kemudian mencari jawabannya kitab-kitab fiqih dari empat madzhab, dengan mengacu dan merujuk secara langsung pada bunyi teksnya. Dengan kata lain mengikuti pendapat-pendapat yang sudah ada jadi dalam lingkup madzhab tertentu.
Adapun prosedur dalam pelaksanaan metode Qauliy sebagaimana bahwa pemilihan qaul/wajah ketika dalam suatu masalah dijumpai maka yang dilakukan yakni:
a.         Mengambil pendapat yang lebih maslahat dan atau yang lebih kuat.
b.         Sedapat mungkin dengan melaksanakan ketentuan pada Muktamar, bila ada perbedaan pendapat diselesaikan dengan berurutan pada pengambilan qaul/wajah dengan kitab-kitab yang mu’tabarah (diakui).
Contoh penerapan metode qauliy ialah pada keputusan Muktamar I Surabaya, 21-23 September 1926:
Soal:
Bolehkah menggunakan hasil dari zakat untuk pendirian masjid, madrasah atau pondok (asrama) karena itu termasuk “sabilillah” sebagaimana kutipan Imam al-Qaffal?
Jawaban:
Tidak Boleh. Karena yang dimaksud dengan “sabilillah” ialah mereka yang berperang dalam sabilillah. Adapun kutipan Imam al-Qaffal itu adalah da‟if (lemah).
Dasar:
Dari kitab Rahmatul Ummah dan Tafsir al-Munir juz I: “dan mereka sepakat atas tidak bolehnya mengeluarkan (harta zakat) untuk mendirikan masjid atau mengafani (membungkus) mayat”

“dan al-Qaffal mengutip dari sebagian fuqaha‟, bahwa mereka memperbolehkan membelanjakan harta zakat untuk semua segi kebaikan, seperti mengafani mayat, membangun benteng dan memakmurkan masjid, karena firman-Nya. Fi sabilillah (di jalan Allah) itu umum mencakup semuanya. (Tafsir al-Munir)”.
2.     Metode Ilhaqiy
Metode ini digunakan apabila tidak dapat dilaksanakan karena tidak ditemukan jawaban tekstual dari suatu kitab mu’tabar, maka dilakukan yakni menyamakan hukum suatu kasus/masalah yang belum dijawab oleh kitab mu’tabar (belum ada ketetapan hukumnya) dengan kasus/masalah serupa yang telah dijawab oleh kitab (telah ada ketetapan hukumnya), dan menyamakan dengan pendapat yang sudah “jadi”. Adapun prosedur metode ilhaqiy yang harus dipenuhi yakni persyaratan (unsur) diantaranya: adanya mulhaq bih (sesuatu yang belum ada ketetapan hukumnya), mulhaq ‘alaih (sesuatu yang sudah ada kepastian hukumnya), dan wajh al-ilhaq (faktor keserupaan antara mulhaq bih dan mulhaq ‘alaih) oleh para mulhiq (pelaku ilhaq) yang ahli.
Dalam prakteknya metode ilhaqiy dapat dikatan serupa dengan Qiyas baik dalam prosedur dan persyaratannya. Oleh karenanya, ulama NU menyebutnya metode qiyasiy versi NU. Akan tetapi dari keduanya (metode ilhaqiy dan qiyas) memiliki perbedaan yakni ilhaq menyamakan hukum sesuatu yang belum ada ketetapannya dengan sesuatu yang sudah ada kepastian hukumnya berdasarkan teks suatu kitab (mu’tabar). Sedangkan qiyas menyamakan hukum sesuatu yang belum ada ketetapannya dengan sesuatu yang sudah ada kepastian hukumnya berdasarkan nash al-Qur’an dan as-Sunnah.
Contoh penerapan metode ini ialah pada muktamar II di Surabaya 9-11 oktober 1927 yaitu:
Soal:
Sahkah jual beli petasan (mercon) untuk merayakan hari raya atau pengantin dan lain-lain sebagainya?

Jawab:
Jual beli tersebut hukumnya sah!. Karena ada maksud baik, ialah adanya perasaan gembira menggembirakan hati dengan suara petasan itu.
Dasar:
Dari kitab I‟anah at-Talibin Juz III/121-122: “adapun membelanjakan harta untuk bersedekah, aspek-aspek kebaikan, makanan, pakaian, hadiah yag tidak sesuai dengannya, maka tidak termasuk sia-sia. Artinya menurut pendapat terkuat, karena didalamnya mengandung tujuan yang benar, yaitu mendapatkan pahala atau bersenang-senang. Oleh karenanya dikatakan dalam hal kebaikan tidak ada yang namanya israf dan tidak ada kebaikan di dalamnya”.

Kitab al-Bajuriy/ 652-654 bab perdagangan: “menjual sesuatu yang dapat dilihat artinya dapat dihadirkan maka diperbolehkan jika memenuhi syarat, yaitu suci, dapat dimanfaatkan, diserahkan dan dimiliki pembeli”. Kitab Al-Jamal ‘ala Fath al-Wahhab juz III/24:

“dan benar dalam memberikan dalih bahwasanya rokok dapat dimanfaatkan oleh pembeli yaitu menghisapnya, mengingat rokok termasuk diperbolehkan karena tidak ada dalil yang mengharamkannya. Maka manfaatnya tergolong boleh. Namun dalam penjelasannya, asy-Syaikh rupanya menetapkan haramnya, dan karena itu perlu dibedakan antara sedikit dan banyaknya sebagaimana diketahui dari uraian sebelumnya. Periksalah”.

Dari penjelasan di atas, hukum jual beli petasan untuk kesenangan dibolehkan, karena membelanjakan harta untuk kebaikan dan kesenangan diperbolehkan (I’anah), terdapatnya barang yang diperjual belikan serta suci lagi bermanfaat (al-Bajuriy), dan tidak ada dalil pengharamannya seperti rokok (al-Jamal).

3.     Metode Manhajiy
Metode manhajiy adalah suatu cara menyelesaikan keagamaan yang ditempuh oleh Lajnah Bahtsul Masa’il dengan jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun imam madzhab. Dengan kata lain, metode Manhajiy bisa dikatakan dengan ber-ijtihad yang dilakukan oleh ulama-ulama NU secara Kolektif. Sebagaimana metode qauliy dan ilhaqiy, sebenarnya metode manhajiy sudah diterapkan oleh para ulama terdahulu, walaupun tidak dengan istilah manhajiy dan tidak pula diresmikan melalui sebuah keputusan.
Dengan demikian, secara ringkas dapat disimpulkan bahwa metode yang digunakan Lajnah Bahtsul Masa’il lebih dominan terhadap teks-teks pendapat imam madzhab (Qaul) dari kitab-kitab mu’tabarah (diakui) dengan dipadukan metode Qauliy yang sering digunakan sebagai konteks Ijtihad dengan pemahaman metode Bayaniy. Metode bayaniy adalah suatu cara Istinbath (penggalian dan penetapan) hukum yang bertumpuan pada kaidah-kaidah Lughawiyyah (kebahasaan) atau makna lafadz.
Setidaknya dengan metode qauliy yang digunakan Lajnah Bahtsul Masa’il merupakan metode yang paling dominan dipakai dalam menjawab segala kebutuhan masyarakat dengan tantang zaman yang semakin berkembang pesat.
Contoh penerapannya ialah pada Muktamar I 1926 yaitu:
Soal:
Dapat pahalakah sodaqoh pada mayat?
Jawab:
Dapat.

Dasarnya:
Dalam kitab al-Bukhoriy bab “janazah” dan kitab al-Muhadzdzab bab “wasiyat”: “Ibn Abbas meriwayatkan bahwasanya ada seseorang bertanya pada Rasulullah SAW; sungguh ibuku telah meninggal, apakah dia dapat meperoleh manfaat apabila saya bersedekah untuknya? Maka beliau menjawab Ya, dapat. Dia berkata: sungguh saya mempunyai keranjang buah, maka kupersaksikan kepadamu, bahwasanya saya telah menyedekahkannya untuk dia”.

Keputusan di atas dikategorikan sebagai metode manhajiy karena merujuk pada hadits yang merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Quran yang disusun keempat Imam madzhab. Dalam pelaksanaan Bahtsul Masail sendiri yang menjadi faktor utama dalam pengambilan keputusan hukum ialah kembali pada tujuan dari adanya hukum itu sendiri yaitu kemaslahatan. Untuk memperhatikan nilai-nilai kemaslahatan. Maslahah sendiri ialah sebuah ungkapan yang pada intinya merupakan keadaan yang mendatangkan manfaat dan menolak bahaya atau kerugian.
Ukuran atau syarat yang lebih konkret tentang kemaslahatan jika disimpulkan dari penjelasan Imam Al-Ghazali dalam al-Mustashfa, Imam Al-Syatibi dalam al-Muwafaqat dan ulama kontemporer seperti Abu Zahrah, dan Abdul Wahab Khalaf adalah:
a.       Kemaslahatan itu harus sesuai dengan maqâshid al-syarî‟ah, semangat ajaran, dalil-dalil kulli dan dalil qoth’i baik wurud maupun dalalahnya
b.      Kemaslahatan itu harus meyakinkan, artinya kemaslahatan itu berdasarkan penelitian yang cermat dan akurat sehingga tidak meragukan bahwa itu bisa mendatangkan manfaat dan menghindarkan mudarat;
c.       Kemaslahatan itu membawa kemudahan dan bukan mendatangkan kesulitan yang di luar batas, dalam arti kemaslahatan itu bisa dilaksanakan.
Berdasarkan penjelasan di atas ketika ingin memutuskan suatu hukum yang baru tentunya yang menjadi fokus utama ialah tidak melenceng dari tujuan adanya hukum itu sendiri serta dampaknya pada masyarakat, apakah hal tersebut akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat atau justru menimbulkan chaos (perpecahan), baik antara masyarakat itu sendiri maupun dengan pemerintah. Serta dapat dengan mudah dilakukan dan tidak terdapat kesulitan yang tidak wajar di dalamnya, Oleh karena itu kemashlahatan menjadi fokus utama dalam pengambilan keputusan dalam pelaksanaan Bahtsul Masail.
Seiring berjalannya waktu sejak pertama kalinya Muktamar dilaksanakan pada tahun 1926 sampai Muktamar saat ini, Lajnah Bahtsul Masa’il yang semula hanya terbagi dua sub-komisi, kini telah bertambah satu sub-komisi menjadi tiga sub-komisi, yaitu: Bahtsul Masa’il ad-Diniyyah al-Waqi’iyyah (pengkajian masalah keagamaan aktual yang terjadi dan berkembang di masyarakat sosial untuk memperoleh kepastian hukumnya), Bahtsul Masa’il ad-Diniyyah al-Maudhu’iyyah (pengkajian masalah keagamaan konseptual), dan Bahtsul Masa’il ad-Diniyyah Qanunniyyah (pengkajian masalah keagamaan bentuk perundang-undangan).
Dengan mengambil pembahasan pada pandangan NU tentang respon Islam terhadap demokrasi, para ulama merumuskannya ke dalam bahasan Bahtsul Masa’il ad-Diniyyah al-Maudhu’iyyah dengan tujuan awal membina dan membimbing masyarakat serta menjawab persoalan-persoalan agama yang terjadi dikalangan masyarakat yang lebih terperinci.
Melihat dari perkembangannya, situasi kondisi sosial masyarakat saat ini, pengambilan keputusan pada Lajnah Bahtsul Masa’il khususnya pada kategori al-Maudhu’iyyah mengenai demokrasi, yakni terlihat liberal karena tidak adanya kutipan-kutipan kitab-kitab klasik. yang dijadikan referensi atau rujukan dalam pembahasannya. dengan hanya mengambil dan menggunakan al-Qur’an dan Hadits untuk dijadikan rujukan utama yang dibahas.  

PEMIKIRAN HUKUM NAHDLATUL ULAMA


A.       Pendahuluan

Ushul fiqh memegang peranan penting dan strategis dalam melahirkan ajaran Islam rahmatan lil ‘ālamîn. Wajah kaku dan keras ataupun lembut dan humanis dari ajaran Islam sangat ditentukan oleh bangunan ushul fiqh itu sendiri. Sebagai ‘mesin produksi’ hukum Islam, ushul fiqh menempati poros dan inti dari ajaran Islam. Melihat fungsinya yang demikian, rumusan ushul fiqh seharusnya bersifat dinamis dan terbuka terhadap upaya-upaya penyempurnaan. Sifat dinamis dan terbuka terhadap perubahan ini sebagai konsekuensi logis dari tugas ushul fiqh yang harus selalu berusaha menselaraskan problema kemanusiaan yang terus berkembang dengan pesat.
Kajian tentang Ushul Fiqh akan berkaitan dengan studi tentang Fiqh. Studi tentang fiqh berarti mengungkap aktivitas intelektual umat Islam yang di dalamnya sering muncul kontroversi. Fiqh, yang juga disebut dengan hokum Islam, sepanjang sejarah kebudayaan Islam, telah menjadi fokus utama aktivitas intelektual. Bagaimanapun hal ini merupakan masalah yang kompleks, suatu struktur yang di dalamnya sejumlah tradisi pemikiran hokum dan beragam tipe realitas sosial harus ditemukan agar berada dalam satu keselarasan yang bisa dibenarkan antara satu dengan yang lainnya, dan agar selaras dengan teks-teks wahyu.[1] Hasil pemikiran fiqh ini kemudian melahirkan berbagai madzhab yang melembaga dan mewujud menjadi berbagai kelompok masyarakat Muslim dengan ragam institusinya di belahan dunia, termasuk Indonesia.
Salah satu organisasi umat Islam Indonesia yang lahir dari persoalan fiqh adalah Nahdlatul Ulama (NU). Oleh sebab itu, studi tentang NU dan komunitasnya tidak bisa dilepaskan dari tradisi pemikiran fiqh, baik pada aspek kerangka teoretis (ushul al-fiqh), maupun kaidah-kaidah fiqh (al-qawaid al-fiqhiyyah).[2] Sikap dan perilaku NU sebagai jam’iyyah (organisasi) dan NU sebagai jama’ah (komunitas) yang berbasis masyarakat terutama masyarakat pesantren, tidak luput dari orientasi fiqh. Amaliah NU adalah amaliah yang didasarkan pada fiqh, atau dalam istilah Masdar F. Mas’udi, fiqh adalah “panglima”-nya.[3] Fiqh yang dimaksud adalah aturan-aturan Tuhan tentang tingkah laku praktis manusia, baik dalam hubungan personalnya dengan Tuhan maupun dalam hubungan sosialnya antara sesama manusia, yang terhimpun dalam kitab-kitab fiqh.
Oleh karena urgensi dan posisi fiqh yang sangat dominan dalam kehidupan masyarakat Muslim, maka mempelajari dan mengkaji fiqh adalah fardhu ‘ain (kewajiban). Dalam catatan sejarah, kesungguhan umat Islam (para ulama terdahulu) yang mendalami agama telah menghasilkan produk pemikiran di berbagai bidang ajaran Islam terutama bidang kemasyarakatan yang terhimpun dalam kitab yang sering disebuut dengan istilah “kitab kuning”.[4] Kitab-kitab fiqh yang sangat kaya, yang merupakan hasil pemikiran (ijtihad) para ulama sejak masa klasik sampai sekarang adalah bukti dari semangat dan perhatian umat Islam yang besar terhadap bidang fiqh. Lebih khusus dalam masyarakat pesantren, fiqh merupakan primadona dari kajian-kajian yang ada di dalamnya. Hampir seluruh pesantren di Indonesia telah menjadikan fiqh sebagai pelajaran wajib paling utama dan mendapat apresiasi yang tinggi dibandingkan dengan pelajaran-pelajaran lain seperti tafsir, hadits, tauhid dan sebagainya. Tradisi pesantren yang berorientasi fiqh inilah yang membentuk kepribadian warga NU (Nahdliyyin).
Pemikiran fiqh NU identik dengan fiqh madzhab, di mana setiap persoalan keagamaan (al-masail al-diniyyah) yang muncul direspon dan dicari solusinya berdasarkan kitab-kitab fiqh madzhab empat yang diikuti (Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali). Pola bermadhzab ini dilakukan dengan cara mengambil pendapat (qaul) madhzab melalui penelusuran terhadap kitab-kitab fiqh madzhab empat tersebut, meskipun pada kenyataannya madzhab Syafi’iyah yang dominan.
Dinamika pemikiran (khususnya fiqh) yang terjadi di dalam NU berjalan secara perlahan-lahan (evolutif), tidak terjadi secara radikal (revolusioner). Hal ini bias dipahami mengingat kaum Nahdliyyin adalah penganut ajaran Islam Ahlussunah wal Jamaah yang dikenal bersikap moderat, sehingga dalam menghadapi setiap persoalan dihadapi secara hati-hati (al-ihtiyath) dan pelan-pelan. Sikap ‘kehati-hatian” yang ditampakkan ini sering memunculkan sikap “ambivalensi” ketika menghadapi hukum yang tidak dapat diputuskan dengan qaul madzhab. Dalam hal ini, tawaqquf (menangguhkan persoalan) menjadi pilihan NU daripada berijtihad. Akibatnya, pemikiran keagamaan (termasuk fiqh) yang berkembang di kalangan warga NU selama ini lebih dominan pada tataran nalar bayani, [5] dan berorientasi pada pemikiran madzhab. Hal ini tercermin pada keputusan hokum Bahtsul Masail NU sejak tahun 1926 sampai sekarang, yang secara formal merujuk langsung kepada teks-teks klasik yang dominan dari madzhab Syafiiyah.[6]
Kembalinya orientasi NU sebagai jam’iyyah diniyyah, merubah wawasan pemikiran fiqh NU, sehingga pola madzhab yang semula berkutat pada bermadzhab secara qauly atau tekstual menjadi lebih terbuka dan dinamis, sehingga melahirkan pemikiran-pemikiran segar dalam bahtsul masail yang diselenggarakan NU. Apalagi dengan wilayah kajian yang semakin meluas dan menyentuh isu-isu global seperti Hak Azasi Manusia (HAM), pluralism, hubungan antar agama, demokratisasi dan isu-isu global lainnya.
Pergulatan pemikiran dalam NU dengan ragam ekspresi pemikiran, tidak terlepas dari sikap ulama NU dalam memaknai adagium al-muhafadat ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (memelihara nilai-nilai terdahulu yang sudah baik, dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik) sebagai ruang dinamis NU. Adagium ini memposisikan NU sebagai jam’iyyah diniyyah meneguhkan pola bermadzhab dengan memegangi warisan klasik (al-turats al-qadim) yakni kitab-kitab karya ulama klasik. Pada sisi lain, NU tidak bisa menghindar dari perubahan dan kemajuan sebagai hasil modernisasi, yakni karya-karya intelektual modern (Barat) yang disebut sebagai a-turats al-gharbi[7].
Melihat kompleksitas wacana fiqh dalam NU dan problematika bermadzhabnya, maka makalah ini akan mencoba menggali pemikiran hukum Nahdlatul Ulama yang dirumuskan sebagai berikut: 1) Bagaimana metode istibanth hukum yang digunakan Nahdlatul Ulama? 2) Apa Kontribusi Pemikiran Hukum Nahdlatul Ulama terhadap Hukum di Indonesia?



[1] John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, Jilid 2, Terj. Eva Y.N, dkk (Bandung, Mizan, 2001), hlm. 199
[2] M. Ali Khaidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia, Pendekatan Fiqh dalam Politik (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994), hlm. 8
[3] Fiqh sebagai panglima adalah menjadikan fiqh sebagai panutan dan pedoman dalam berpikir dan berprilaku. Setiap masalah yang dihadapi oleh NU, solusi atau pemecahannya hampir selalu didekati dan diputuskan berdasarkan pemahaman fiqh.
[4] Ahmad Azhar Basyir, Islam Agama Rahmat bagi Semesta Alam, Menggagas Fiqh Sosial (Bandung, Mizan, 1994), hlm.11
[5] Istilah bayani ini dimaksudkan untuk menyebut bentuk pemikiran keagamaan yang bertumpu pada pemahaman tekstual, di mana nash, ijma dan ijtihad (qiyas) sebagai sumber dasar pengetahuan terutama dalam mengimplementasikan ajaran-ajaran Islam. 
[6] Imam Yahya, Akar Sejarah Bahtsul Masail: Penjelajahan Singkat, M. Imdadun Rahmat (ed), Kritik Nalar Fiqh NU, Transformasi Paradigma Bahtsul Masail (Jakarta, LAKPESDAM NU, 2002) hlm. 17-18.
[7] Istilah ini dimunculkan oleh Hassan Hanafi ketika mencermati pergulatan pemikiran umat Islam (Arab) yang terjadi di saat sekarang (modern). Pemikiran Islam berada pada tarik menarik antara dua pengaruh warisan intelektual, yaitu al-turats al-qadim sebagai warisan umat Islam dan al-turats al-gharbi sebagai warisan dari Barat yang kedua-duanya mempengaruhi pemikiran umat Islam.

Minggu, 29 April 2018

PANDANGAN NURCHOLISH MADJID TENTANG MASYARAKAT MADANI

Ada tiga term utama yang digunakan oleh Nurcholish Madjid dalam merumuskan konsep masyarakat madani, yaitu demokrasi, masyarakat madani, dan civility. Sebagaimana diungkapkan sebelumnya, untuk menjalankan demokrasi perlu ruang yang kondusif dan mampu memberi kehidupan untuk berdemokrasi di dalamnya. Ruang atau rumah itu adalah masyarakat madani atau civil society. Adapun civility adalah kualitas etik yang dimiliki oleh masyarakat, berupa toleransi, keterbukaan, dan kebebasan yang bertanggung jawab. Kualitas masyarakat madani dapat diukur dari kualitas civility. Semakin terbuka dan bersedia untuk menerima pandangan, pendapat, dan perbedaan, maka semakin tinggi kualitas civility yang dimilikinya. 
Lebih lanjut Nurcholish Madjid memandang masyarakat madani merupakan sebuah bentuk bangunan "kebersamaan". Masyarakat memiliki kesetaraan dalam melaksanakan hak dan kewajibannya. Hak-hak azasi dan seluruh kewajibannya diakui dan dihormati oleh negara. Semua kalangan memiliki kesadaran penuh akan peran dan tanggung jawab yang diembannya.
Nabi Muhammad Saw telah jauh sebelum munculnya masyarakat modern memberi contoh bagaimana membangun suatu peradaban yang ideal. Dengan hijrah ke Yatsrib, Nabi kemudian melakukan reformasi besar sebagai tandingan peradaban yang dimiliki oleh masyarakat Jahiliyah. Saat itu, masyarakat Arab secara sosio-kultural mengalami krisis kemanusiaan, kering akan nilai etika-spiritual, dan sistem kemasyarakatan yang tidak kondusif. Oleh karenanya, Nabi kemudian dalam dakwahnya melakukan perombakan-perombakan secara sistematis dan gradual (perlahan-lahan) agar masyarakat Arab memiliki kesadaran dan mau kembali kepada ajaran dan petunjuk Ilahi. Proses panjang selama kurang lebih 23 tahun inilah yang menurut Nurcholish Madjid sebagai sebuah proses transformasi menuju masyarakat madani.
Untuk menuju masyarakat madani tentu terdapat beberapa ciri utama yang harus dimiliki masyarakat. Nurcholish Madjid menggambarkan 6 ciri utama yakni: 
a.      Masyarakat Egaliter
Masyarakat egaliter atau egaliterianisme adalah masyarakat yang mengakui adanya kesetaraan dalam posisi di masyarakat dalam hak dan kewajiban tanpa memandang suku, keturunan, ras, agama dan sebagainya.

b.      Penghargaan
Penghargaan yang dimaksud adalah penghargaan kepada orang lain bukan atas dasar prestise, keturunan, ras, dan sebagainya melainkan penghargaan atas prestasi dan kemampuan.
c.       Partisipasi dan keterbukaan
Ciri masyarakat madani adalah kerendahan hati untuk tidak merasa selalu benar, kemudian kesediaan untuk mendengarkan pendapat orang lain untuk diambil dan diikuti mana yang terbaik. Keterbukaan ini menurut Nurcholish Madjid memberi peluang bagi adanya pengawasan sosial.
d.      Hukum dan keadilan
Hukum dan keadilan harus ditegakkan kepada siapa, kapan dan di mana pun. Keadilan harus benar-benar dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. 
e.       Toleransi dan pluralism
Kedua hal tersebut merupakan core (inti) dari civilty, yaitu sikap menghargai berbagai perbedaan yang ada tanpa ada pemaksaan kehendak, pendapat dan pandangan.
f.        Musyawarah dan demokrasi
Musyawarah dan demokrasi menjadi unsur utama dalam membentuk masyarakat madani. Masyarakat madani merupakan masyarakat demokratis yang selalu mengedepankan musyawarah. Musyawarah adalah korelasi positif yang dibangun masyarakat dalam mempertemukan visi bersama serta memberikan hak dan kewajiban secara adil dan sejajar.
Dapatkah bangsa Indonesia mengadopsi sistem sosial dalam masyarakat madani ini? Dalam hal ini Nurcholish Madjid sangat optimis dengan menekankan pada dua azas yang harus dimiliki oleh bangsa Indonesia, yaitu azas toleransi dan pluralisme. Kedua hal tersebut merupakan prestasi gemilang dalam sejarah umat manusia di mana Nabi mampu menerapkan bentuk keharmonisan dan keadilan di tengah-tengah kemajemukan dan berbagai perbedaan yang ada. Nurcholish Madjid mengingatkan bahwa untuk membentuk masyarakat madani perlu adanya negara yang kuat dan solid. Negara selain memberikan liberasi (kebebasan) namun harus diiringi demokratisasi dan keterbukaan negara sendiri menghadapi partisipasi masyarakatnya.

Nurcholish Madjid dalam setiap pemikirannya selalu berupaya melihat segala sesuatu secara substantif dan memilih jalan tengah dari setiap perdebatan baik secara teoritis dan praktis. Ia banyak terinspirasi pada pemikiran yang mensintesakan pemikiran Barat dan Islam dan berupaya menjembataninya. Oleh karenanya tidak heran ia banyak dikritik tentang pandangannya tentang masyarakat madani sebagai "ijtihad kontemporer" untuk membangun masyarakat ideal di Indonesia dengan mengambil contoh kehidupan Rasulullah dan masyarakat Madinah. Ia dipandang terlalu menitikberatkan pada persoalan kemajemukan dan kurang memperhatikan sistem khas (Islam) yang mengatur tatanan masyarakat Madinah. Sehingga nampak kabur apakah konsep ini lebih dekat pada masyarakat Islam Madinah ataukan kondisi masyarakat Barat dalam civil society-nya. Sebab masyarakat yang dibangun Nabi Saw berlandaskan Aqidah Islamiyah. Masyarakat atau pun negara bukan dibangun atas dasar kepentingan yang sama, melainkan terbentuk atas dasar perspektif, perasaan, dan misi yang sama.

KONTRIBUSI PEMIKIRAN HUKUM NAHDLATUL ULAMA

Lembaga Bahtsul Masail ialah sebuah Lembaga yang berfungsi sebagai forum diskusi antara para ulama serta kaum intelektual guna membahas pe...